Jumat, 11 November 2011

KEHIDUPAN DAN ALAM KEHIDUPAN

Bagaimana dan kapan kehidupan bermula adalah misteri dan mungkin akan tetap demikian. Kebanyakan agama-agama menyatakan bahwa Tuhan mereka masing-masing yang menciptakan kehidupan. Namun pernyataan demikian belum tentu dapat menjawab bagaimana kehidupan dimulai, sebab bila Tuhan adalah makhluk-hidup, maka dengan demikian harus sejalan dengan pemahaman, bahwa ‘ hidup berasal dari hidup’. Dan, dalam Hal ini belum dapat diterangkan bagaimana kehidupan Tuhan (sebagai suatu pribadi) dimulai.
Terpisah dari legenda-legenda, maka selama ini, ada dua teori ilmiah yang mencoba menerangkan bagaimana kehidupan bermula di dunia ini;

Pertama, adalah Hipotesa Haldane-Oparin, yang dinamai sesuai nama dua sarjana yang pertama yang mengemukakan bahwa bahan organik berasal dari bahan anorganik (John Reader. The Rise of Life New York, 1986 ), Menurut hipotesa mereka, pada zaman lampau, campuran dari gas anorganik yang sederhana larut dalam laut, lalu dengan energi matahari membentuk molekul prasejarah yang pertama; molekul ini kemudian merupakan prasyarat bermulanya kehidupan. Hipotesa ini adalah yang paling diterima dalam menerangkan asal kehidupan. 

Kemudian, baru-baru ini, Sir Fred Hoyle dan Professor Chandra Wickramasinghe menyajikan hipotesa yang sangat berbeda ( Sir Fred Hoyle and Chandra Wichramasinghe. Lifecloud. New York, 1978 ). Mereka mengatakan bahwa bentuk kehidupan yang sederhana berevolusi di angkasa luar lalu terbawa ke bumi oleh meteor-meteor dan ekor komet yang sedang melintas. 

Namun, cara bagaimanapun kehidupan dimulai, pada kenyataannya telah pernah ditemukan bukti-bukti berupa fosil berbentuk batang yang menyerupai ganggang dan bakteri primitif kita saat ini, yang telah ada sejak 2,7 milyar tahun lalu. Hampir semua ahli sependapat bahwa bentuk kehidupan awal berkembang dipermukaan laut.

Para ilmuwan dewasa ini telah menemukan bahwa kehidupan yang pertama kali di muka Bumi berasal dari air. Menurut sains, air juga merupakan unsur yang sangat penting bagi terbentuknya kehidupan. Baru pada tahun 1657, Anthonie van Leeuwenhoek, penemu mikroskop, menemukan makhluk yang sangat kecil yang hidup pada air hujan. Makhluk yang pertama kali muncul di air tersebut adalah makhluk hidup sederhana bersel satu yang disebut cyanobacteria, yang kemudian berkembang biak dengan cara membelah diri. Salah satu ciri makhluk hidup bersel satu ini adalah belum memiliki jenis kelamin (aseksual).

Agama Buddha mengajarkan, asal kehidupan tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia. Walau demikian, Sang Buddha juga memberi gambaran bagaimana kehidupan berawal dibumi. Beliau menjelaskan, ketika alam-semesta mulai mengembang, alam yang telah ada barulah alam surga (alam-dewa).:

“ Vasettha, terdapat suatu saat, cepat atau lambat, setelah suatu masa yang lama sekali, ketika dunia ini hancur. Dan ketika hal ini terjadi, umumnya makhluk-makhluk terlahir kembali di Abhassara (alam cahaya); di sana mereka hidup dari ciptaan batin (mano maya), diliputi kegiuran, memiliki tubuh yang bercahaya, melayang-layang di angkasa, hidup dalam kemegahan. Mereka hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari air semata dan semuanya gelap-gulita. Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau musim, belum ada laki-laki dan wanita, Makhluk-makhluk hanya dikenal sebagai makhluk-makhluk saja. Lalu setelah jarak waktu yang sangat lama, sari tanah yang menggiurkan terbentuk diatas permukaan air dimana makhluk-makhluk itu berada. Bentuknya seperti lapisan yang terbentuk diatas susu panas yang mendingin. Warnanya seperti dadih-susu (susu yang mengental) atau mentega, dan rasanya seperti madu murni.

Kemudian Vasettha, di antara mahluk-mahluk yang memiliki sifat serakah (lolajatiko) berkata : 'O apakah ini? Dan mencicipi sari tanah itu dengan jarinya. Dengan mencicipinya, dia menyukainya, dan keinginanpun timbul. Lalu, Makhluk-mahluk lainnya mengikuti contoh perbuatannya, mencicipi sari tanah itu dengan jari-jari .....mahluk-mahluk itu mulai makan sari tanah, memecahkan gumpalan-gumpalan sari tanah tersebut dengan tangan mereka. Dan dengan melakukan hal ini, cahaya tubuh makhluk-makhluk itu lenyap, lalu bulan dan matahari, siang dan malam, bulan dan pertengahan bulan, tahun dan musim, terjadi. Demikianlah, Vasettha, sejauh itu bumi terbentuk kembali.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati sari tanah, memakannya, hidup dengannya, dan berlang-sung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka makan itu, maka tubuh mereka menjadi padat, dan terwujudlah berbagai macam bentuk tubuh. Sebagian mahluk memiliki bentuk tubuh yang indah dan sebagian mahluk memiliki tubuh yang buruk. Dan karena keadaan ini, mereka yang memiliki bentuk tubuh yang indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh yang buruk ..... maka sari tanah itupun lenyap ..... ketika sari tanah lenyap .....muncullah tumbuhan dari tanah (bhumipappatiko). Cara tumbuhnya seperti cendawan ..... Mereka menikmati, mendapatkan makanan, hidup dengan tumbuhan yang muncul dari tanah tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali ..... (seperti di atas). 

Sementara mereka bangga akan keindahan diri mereka, mereka menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan yang muncul dari tanah itu pun lenyap. Selanjutnya tumbuhan menjalar (badalata) muncul ..... warnanya seperti dadi susu atau mentega murni, manisnya seperti madu tawon murni ..... Mereka menikmati, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan menjalar itu ..... maka tubuh mereka menjadi lebih padat; dan perbedaan bentuk tubuh mereka nampak lebih jelas; sebagian nampak indah dan sebagian nampak buruk. Dan karena keadaan ini, maka mereka yang memiliki bentuk tubuh indah memandang rendah mereka yang memiliki bentuk tubuh buruk ..... Sementara mereka bangga akan keindahan tubuh mereka sehingga menjadi sombong dan congkak, maka tumbuhan menjalar itu pun lenyap.

Kemudian, Vasettha, ketika tumbuhan menjalar lenyap ..... muncullah tumbuhan padi (sali) yang masak di alam terbuka, tanpa dedak dan sekam, harum, dengan bulir-bulir yang bersih. Pada sore hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan malam, pada keesokkan paginya padi itu telah tumbuh dan masak kembali. Bila pada pagi hari mereka mengumpulkan dan membawanya untuk makan siang, maka pada sore hari padi tersebut telah tumbuh dan masak kembali, demikian terus menerus padi itu muncul.

Vasettha, selanjutnya mahluk-mahluk itu menikmati padi (masak) dari alam terbuka, mendapatkan makanan dan hidup dengan tumbuhan padi tersebut, dan hal ini berlangsung demikian dalam masa yang lama sekali. Berdasarkan atas takaran yang mereka nikmati dan makan itu, maka tubuh mereka tumbuh lebih padat, dan perbedaan bentuk mereka nampak lebih jelas. Bagi wanita nampak jelas kewanitaannya (itthilinga) dan bagi laki-laki nampak jelas kelaki-lakiannya (purisalinga). Kemudian wanita sangat memperhatikan tentang keadaan laki-laki, dan laki-laki pun sangat memperhatikan keadaan wanita. Karena mereka saling memperhatikan keadaan diri satu sama lain terlalu banyak, maka timbullah nafsu indriya yang membakar tubuh mereka. Dan sebagai akibat adanya nafsu indriya tersebut, mereka melakukan hubungan kelamin.

Vasettha, ketika mahluk-mahluk lain melihat mereka melakukan hubungan kelamin ......... ”. 
( Digha Nikaya III : 85 ).( Agganna Sutta ).

Sungguh mengagumkan, Sang Buddha telah mengatakan bahwa kehidupan berawal dari air. Hal ini dinyatakan dengan kalimat: “ Pada waktu itu bumi hanya terdiri dari air semata “. Pernyataan ini tidak bertentangan dengan sains yang mengatakan bahwa bumi pada awalnya berbentuk cair.

Pada saat Bumi baru terbentuk, masih terdapat kabut yang disebabkan oleh proses pendinginan Bumi. Oleh karena adanya kabut tebal tersebut, maka matahari dan bintang belum tampak, seperti disebutkan dalam Sutta ini. Jelas sekali bahwa Sutta ini mengatakan: " Tidak ada bulan atau matahari, belum ada tata-surya, bintang belum terlihat, belum ada perhitungan waktu bulan, pertengahan-bulan, tahun atau musim," Kalimat ini tidak mengatakan bahwa matahari dan bulan tidak ada, melainkan tidak terlihat. Ini berarti bahwa sebenarnya matahari dan bintang-bintang sudah ada namun belum tampak. Hal ini tidak bertentangan dengan sains yang mengatakan bahwa matahari lebih tua daripada Bumi.

Sang Buddha menerangkan lebih lanjut, bahwa badan makhluk itu bertambah nyata setiap mereka makan, lalu timbul ciri-ciri seksual. Mengenai perubahan tersebut, Beliau berkata, berlangsung " dalam masa yang lama sekali”. ( Digha Nikaya III : 85 ). Saat ini , setiap ilmuwan pun, tak dapat tidak sependapat bahwa semua yang dijelaskan Sang Buddha adalah sama dengan temuan ilmiah tentang asal tata-surya tersebut.

Temuan ilmiah dan Sang Buddha, keduanya sependapat, bahwa permukaan bumi pada masa awalnya tertutup oleh air. Pula, keduanya sependapat bahwa kehidupan pertama mengambang diatas permukaan air, dimana mereka menyerap sari makanan. Keduanya juga sependapat, bahwa bentuk kehidupan awal adalah aseksual (tak berjenis kelamin), pula keduanya ,sependapat bahwa bentuk kehidupan berevolusi, dari bentuk yang .sederhana ke bentuk kehidupan yang lebih kompleks, dan bahwa proses itu berlangsung dalam waktu yang sangat panjang.

Ilmu pengetahuan membagi kehidupan menurut susunan tubuhnya, sedangkan Sang Buddha membaginya menurut apa yang dialaminya. Sang Buddha mengatakan ada enam alam kehidupan, berbeda satu dari lainnya dalam hal apa yang dialami dalam alam kehidupannya masing-masing. Ada Alam Dewa, Alam Manusia, Alam Binatang, Alam Roh Lapar, Alam Roh-Cemburu, Alam Neraka. Marilah kita menelitinya satu demi satu.

Para dewa, yang dalam bahasa Inggeris sering disebut sebagai "gods", dan alam dimana mereka berada sering disebut sebagai "heaven" (surga), namun kedua istilah itu tidak tepat untuk mengungkapkan konsep tentang dewa. Kata "God" (Tuhan) adalah konsep ketuhanan yang menyangkut cinta-kasih, menyangkut kekuatan untuk mencipta dan mengendalikan segalanya, yang sama sekali berbeda dibanding manusia. Kata "surga" menyangkut konsep ketuhanan dari kehidupan kekal sesudah kematian, dimana tidak ada yang berbuat kesalahan seperti kehidupan dibumi. Pada kenyataannya, para dewa tidaklah sempurna dan pula tidak kekal, bila masa kehidupannya usai mereka bisa terlahir kembali sebagai manusia, demikian pula sebaliknya manusia bisa terlahir kembali sebagai dewa. Ciri utama dari kehidupan dewa, adalah bahwa para dewa mengalami lebih banyak kebahagiaan. Pula, surga tempatnya tidaklah mesti selalu terpisah dari alam kehidupan lainnya; surga tidak "di atas sana", pula neraka tidak "di bawah sana". Satu dewa bisa saja berada disamping satu manusia ataupun disamping satu roh-lapar. Yang membuat mereka terpisah atau berbeda, adalah pada keadaan yang dialaminya, bukan pada tempat dimana mereka masing-masing berada. Karena dewa-dewa mungkin saja adalah manusia-manusia sebelum mereka terlahir di Alam Dewa, maka mereka senantiasa masih tertarik pada apa yang dikerjakan manusia. Mereka bisa menjawab doa seseorang, melindungi orang tertentu dari mara bahaya, namun juga bisa menyebabkan kesulitan-kesulitan diantara manusia.

Setelah pembicaraan tentang perbedaan antara dewa dan "gods", kita sampai pada yang di ajarkan oleh Sang Buddha tentang konsep "penciptaan" alam-semesta oleh suatu "maha-dewa" atau makhluk tertentu. Keberadaan makhluk seperti itu dibantah oleh Sang Buddha, sebab menurut Beliau, pemahaman seperti itu adalah tidak masuk akal, tanpa pembuktian yang mendukungnya. Ada beberapa argumentasi yang mencoba membuktikan adanya "maha-dewa" pencipta, namun Buddha Dhamma malah membuktikan bahwa tidak satupun argumentasi itu memuaskan.

Argumentasi pertama mengatakan seperti ini : "Segala sesuatu mempunyai kausa (sebab), oleh karenanya selayaknya ada kausa pertama, dan bahwa kausa pertama itulah "maha-dewa" itu.

Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi ini;

Pertama, ialah bahwa argumentasi diatas justru bertolak belakang dengan pernyataan/ argumentasi itu sendiri. Oleh karena, segala sesuatu mempunyai kausa, maka kausa pertama seharusnya mempunyai kausa juga. 

Kedua, tidak ada alasan yang masuk akal, bahwa segala sesuatu harus mempunyai satu kausa tunggal. Semua benda pada dasarnya terbentuk dari beberapa kausa, dengan demikian adalah sangat masuk akal kalau dikatakan bahwa sesuatu hal memiliki sepuluh, ratusan atau bahkan ribuan kausa. 

Ketiga, walau ada kausa pertama yang tunggal, namun tidak terbukti bahwa itu adalah suatu "maha-dewa". Banyak kemungkinan untuk itu.

Lalu keempat, adalah secara masuk akal tidak mungkin ada kausa pertama atau asal dari alam-semesta . Suatu permulaan, adalah suatu kejadian, dan sama halnya dengan kejadian-kejadian pada umumnya, permulaan adalah suatu perlangsungan, yang tentunya pasti mengambil masa atau waktu untuk perlangsungannya.

Waktu terdiri atas lampau, sekarang dan akan datang. 

Oleh karenanya pada setiap kejadian yang berlangsung, ada waktu sebelum terjadi (waktu akan datang), waktu ketika terjadi (sekarang) dan waktu sesudah terjadi (waktu lampau). Sebelum dari apa yang disebut "penciptaan oleh maha-dewa" , dengan sendirinya tidak ada waktu (karena segala sesuatu belum ada). Lalu, jelas tidaklah mungkin bahwa sesuatu "tanpa-waktu" menghasilkan waktu, sama tidak mungkinnya gelap menghasilkan terang, atau kering dapat menimbulkan basah.

Argumentasi lain, mengenai keberadaan "maha-dewa" tersebut, adalah sebagai berikut ,dikatakan "Segala sesuatu secara alami mempunyai tujuan dan aturan. Tidak terjadi secara kebetulan, namun dirancang.

Apabila alam adalah rancangan, maka harus ada perancang, lalu perancang itu seharusnya "maha-dewa" tersebut ". 

Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi diatas. 

Pertama, walau misalnya diakui bahwa alam ini dirancang, namun tidak terbukti bahwa perancangnya adalah "maha-dewa" tersebut, juga tidak terbukti bahwa perancangnya adalah tunggal. Pada kenyataannya, alam demikian rumit serta kompleks wajar bila memerlukan banyak "perancang". Jadi, bila segala sesuatu dirancang, maka perlu ada beberapa "pencipta". 

Kedua, walau misalnya alam ini dirancang , maka ternyata tampak aspek kekejaman dalam rancangannya. Sebagai contoh, kuman tuberkulosa dirancang untuk menggerogoti paru-paru manusia. Mulut belut Taut dirancang untuk mencengkram tubuh ikan mangsanya untuk kemudian pelan-pelan dimakan hidup-hidup penuh rasa sakit. Kuman kusta dirancang untuk menggerogoti daging manusia sehingga anggota badan rusak. Dengan demikian, walau, misalnya alam dirancang, kenyataan bahwa justru banyak rancangan menyebabkan penderitaan menyimpulkan bahwa Yang Esa ,Yang maha-pengasih tidak pernah menciptakannya sedemikian rupa.

Ketiga, walau misalnya alam ini dirancang, banyak dari rancangan itu justru salah. Bila "maha-dewa sempurna" itu yang merancang, maka ciptaannya seharusnya sempurna pula. Kenyataannya hujan memang mengairi persawahan, tapi kadang-kadang hujan tidak datang, menyebabkan berjuta orang meninggal karena kelaparan, atau hujan terlampau banyak, menyebabkan ribuan orang kehilangan rumahnya atau hidupnya karena banjir. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan cacat mental atau badaniah yang sangat mengerikan. Produksi sel tubuh, kadang-kadang salah, menyebabkan tumor dan kanker. Kenyataan, bahwa perancangan alam tidaklah sempurna mengindikasikan bahwa "maha-dewa", pencipta yang seharusnya sempurna, bukanlah perancangnya.

Agama Buddha juga masih memiliki beberapa argumentasi kuat untuk menganggap "maha-dewa" itu tidaklah maha-tahu, maha-kuasa serta maha-pengasih. Argumentasi pertama adalah, apabila "maha- dewa" itu maha-tahu , maka "maha-dewa" itu pasti mengetahui semua masa lalu, mengetahui semua masa sekarang dan mengetahui semua masa yang akan datang. Dengan demikian seharusnya "maha-dewa" itu pasti mengetahui pilihan yang dijatuhkan seseorang, pikiran yang dipunyai seseorang, tindakan yang akan dilakukan seseorang, jauh sebelum dilaksanakan oleh orang itu.

Jadi, dengan demikian setiap manusia seharusnya hanya dapat bertindak sesuai apa yang telah "maha-dewa" ramalkan sebelumnya; seluruh kehidupan setiap orang telah dipastikan dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian, berdasar pada pemahaman "maha-dewa maha tahu" itu tidak mungkin lagi ada kebebasan keinginan lagi; lalu bila tidak ada kebebasan keinginan, seseorang tidak seharusnya bertanggung jawab pada setiap tindakannya, pula ide untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan, tidak berarti lagi.

Sehubungan dengan itu, argumentasi lain, adalah sebagai berikut: Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak "maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya "maha-dewa" itulah penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji.

Sang Buddha menyatakan argumentasinya sebagai berikut :

“ Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". 

Aku menemui dan bertanya pada mereka, apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu Aku berkata : "Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri dan berzinah pula atas kehendak "maha-dewa" tersebut. Mereka harus berbohong, berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauannya. Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan 'maha-dewa' tersebut." Mereka yang menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini atau tidak berbuat itu.”
( Anguttara Nikaya I : 73 ).

Pujangga Buddhis , Santideva, menyatakan dengan sederhana "Bila "maha-dewa" lah penyebab semua kejadian , lalu apa gunanya manusia berusaha sekuat tenaga?" ( Bodhicaryavatara IX : 121 )

Argumentasi lain mengenai konsep "maha-dewa", sebagai berikut: keberadaan kejahatan dan penderitaan didunia adalah bukti bahwa "maha-dewa" yang maha-kasih, maha-kuasa tidaklah ada, sebab bila ada tentunya "maha-dewa" sedemikian itu bisa menghentikan segala kejahatan, bencana dan penderitaan . Seorang manusia sederhana sekalipun akan berbuat apa saja agar terbebas dari sakit, kelaparan dan ketakutan apabila mereka berdaya untuk itu; lalu mengapa "maha-dewa" yang lebih sempurna dan maha-kuasa itu tidak bertindak? 

Ada pula pendapat yang mengatakan, bahwa penderitaan adalah hukuman "maha-dewa" bagi yang berbuat kejahatan. Tapi bukankah orang yang baik juga ditimpa bencana, sakit dan kematian mendadak, sebaliknya penjahat juga ada yang sukses, sehat dan bahagia.

Lalu, ada pula yang mengatakan bahwa semua penderitaan manusia disebabkan oleh dosa. Walau manusia me-mang harus bertanggung jawab dalam bentuk penderitaan, namun tetap mereka tidak dapat dipersalahkan untuk beberapa macam penderitaan seperti kanker, gempa bumi, paceklik, kekeringan dan juga terlahir cacat. 

Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa pengasih" tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa "maha-dewa pengasih" membiarkan penderitaan terjadi? 

Oleh karenanya, adanya penderitaan yang mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya "maha-dewa maha-pengasih" tersebut..

Sang Buddha bersabda:

“ Dengan mata,seorang dapat melihat pandangan memilukan;
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik?
Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela?.
Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal.
Aku menganggap, "maha-dewa" adalah ke-tidak adilan,
Yang membuat dunia yang diatur keliru.
( Jataka VI : 208 )

Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanyalah kepercayaan pada "maha-dewa yang bercirikan sifat seperti diatas" yang dapat menjamin kebahagiaan serta membuat hidup berarti atau hanya dengan keyakinan seperti itu kita dapat mengatasi masalah kita sendiri. Namun, jutaan manusia yang juga berbahagia, produktif dan bermoral dalam hidupnya tanpa harus menyandang konsep tentang adanya "maha-dewa" berciri sedemikian .Mereka juga berhasil mengatasi kecacatan, ketidak-mampuan dan kekerasan hidup melalui kekuatan dan ketetapan- hati mereka sendiri, tanpa bersandar pada kekuasaan "maha-dewa" tersebut. Apabila manusia bermoral, bahagia dan berkasih-sayang pada sesamanya serta mempunyai tujuan hidup, maka kepercayaan sedemikian diatas kiranya tidaklah diperlukan. Namun, adalah penting diketahui bahwa untuk orang tertentu kepercayaan pada bentuk-bentuk atau ciri-ciri "maha-dewa" sedemikian diatas adalah berarti dan penting untuk hidupnya. Oleh karenanya, walau tidak menganut paham sedemikian bagi dirinya sendiri, seorang umat Buddha hendaknya tetap menghormati mereka yang berkeyakinan seperti itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar